Seorang remaja bertanya kepada Ahmad Dahlan. Apa itu agama? Dahlan terdiam sejenak. Ia lantas memainkan biola yang ada di tangannya. Tentu semua orang disekitar Dahlan, menjadi heran dan saling beradu pandang. “Apa maksudnya?,” begitu pikir mereka. Sejenak kemudian, mereka pun hanyut dalam alunan melodi indah yang dimainkan Dahlan. Sang ustad pun terlihat memainkan sepenuh jiwa.
“Bagaimana?,” tanya Dahlan kemudian. “Indah, damai, seperti semua masalah hilang,” jawab para remaja bergantian. “Ya, itulah agama,” jelas Dahlan. “Agama itu seperti musik, tenang, menyenangkan, dan menyegarkan hati,” tambahnya.
Lalu, Dahlan meminta salah seorang remaja memainkan biolanya. Hasilnya, bukan menghasilkan melodi indah, malah bunyinya memekakkan telinga. Bahkan, menjadi bahan tertawaan. “Itulah agama,” ujar Dahlan. Menurutnya, agama jika tidak dipahami dan dipelajari sungguh-sungguh, bisa menjadi hal yang merusak, memecah belah, dan menakutkan.
Inilah refleksi yang terdalam dari film Sang Pencerah, karya Hanung Bramantyo. Film ini sebenarnya bercerita tentang jalan hidup Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Namun, melalui dialog-dialognya, film Sang Pencerah mengajak kita, untuk kembali merenungkan kehidupan dan kerukunan beragama kita saat ini.
Belakangan, kehidupan beragama di Indonesia kerap digoyang perpecahan. Kasus penusukan pendeta HKBP di Ciketing, Bekasi adalah ujian terbaru. Pembakaran dan perusakan tempat ibadah jemaat Ahmadiyah, dan pertikaian SARA di Ambon, Maluku untuk menyebut beberapa yang lainnya.
Dewan Antar-agama Indonesia (Inter Religius Council/IRC) menengarai masih ada ketegangan dan potensi konflik dalam hubungan antar-umat beragama di Indonesia. Ketegangan dan potensi konflik tersebut antara lain berbentuk kekerasan, pemaksaan kehendak, perusakan tempat ibadah, dan lainnya.
IRC juga berencana akan menyelenggarakan forum dialog dan silaturahmi nasional para tokoh umat beragama di Indonesia, akhir tahun ini.
Alunan yang memekakkan telinga
Film Sang Pencerah menunjukkan bagaimana agama bisa jadi alunan suara yang memekakkan telinga, dari biola yang dimainkan seorang yang tidak terlatih. Masyarakat Kauman, Yogyakarta di jaman Dahlan sibuk dengan beragam sesajen, sampai lupa substansi Islam yang sesungguhnya. Kultus individu terhadap Sultan sebagai wakil Tuhan di bumi juga mengaburkan ajaran Islam itu sendiri. Ironisnya, penyimpangan ini dilanggengkan para pemuka agama setempat, yang diantaranya pernah menuntut ilmu hingga ke Mekkah.
Sebaliknya, Ahmad Dahlan dianggap sebagai Kyai palsu karena membawa pemikiran pembaharu Islam. Pada kesempatan pertama dia menjadi khatib masjid, dia menyindir kebiasaan penduduk kampung Kauman dalam berdoa. Menurut Dahlan, dalam berdoa itu yang dibutuhkan cuma ikhlas dan sabar. Tidak lagi diperlukan Kyai, ketip, atau sesajen. Sontak, jamaah yang hadir kaget. Termasuk Sultan.
Dahlan juga merubah arah kiblat masjid, yang selama ini lurus ke barat dan sejajar dengan keraton yang dianggap sebagai pancar bumi. Kompas dan peta bumi jadi bekal untuk mengukur akurasi arah kiblat ke Mekkah, tidak dipercaya. Lantaran, kompas dan peta itu buatan Belanda yang dicap sebagai kaum kafir.
Suami Siti Walidah juga dianggap menyebarkan agama baru, karena menggunakan biola dalam mengajar, meja dan kursi layaknya sekolah Belanda yang disebut sekolah kafir, serta ikut organisasi Budi Utomo dengan berpakaian ala priyayi, yakni bersandal, bersepatu dan berminyak wangi.
Akibatnya, langgar kidul, warisan sang Ayah dirobohkan warga. Langgar itu dianggap sebagai pusat penyesatan dan penyebaran agama baru. Dahlan sendiri sempat putus asa, dan pergi meninggalkan kampung halamannya. Namun Dahlan mengurungkan niatnya, setelah mendapat pencerahan dan bantuan dari kerabatnya.
Pimpinan itu kunci
Kebodohan dan kemiskinan adalah musuh utama agama. Ironisnya, jika keduanya melekat kepada seorang pemimpin agama. Kyai Magelang, suatu hari mendatangi rumah Dahlan, yang telah disulap menjadi sekolah Madrasah Ibtidaiyah. Kyai itu mempertanyakan, mengapa Dahlan menggunakan mea, kursi, papan tulis dan kapur seperti sekolah kaum kafir (baca: Belanda).
Namun, Dahlan hanya bertanya sederhana. “Kyai datang jauh-jauh dari Magelang ke Yogyakarta, jalan kaki atau naik kereta api?.” Dengan bangga sang Kyai menjawab, “hanya orang bodoh yang mau jalan kaki dari Magelang ke Yogyakarta berjalan kaki. Ya jelas, saya naik kereta. Buat apa capai-capai.” Dahlan balik bertanya, “kereta api itu buatan siapa? Kan orang kafir juga.” Tanpa basa basi, Kyai itu pulang menahan malu.
Kejadian lain, terjadi saat Dahlan meminta persetujuan Kyai penghulu untuk pendirian Muhammadiyah. Meski Sultan setuju, namun Kyai penghulu menentangnya. Alasannya pun sepele. Kyai penghulu salah membaca jabatan Ahmad Dahlan, yang memproklamirkan diri sebagai President Muhammadiyah. Jabatan ini dibaca sang Kyai, sebagai Resident, sebuah jabatan yang dalam hirarki kolonial setara dengan Sultan.
Yang terjadi kemudian, terjadi keresahan yang sangat di masyarakat Kauman. Ahmad Dahlan dan pengikutnya dihujat dimana-mana. Bahkan, para pengikutnya sampai diusir orang tuanya karena setia kepada Dahlan, atau berkelahi karena mempertahankan nyawanya. Inilah bahayanya jika seorang pimpinan sudah dipengaruhi emosi dan egonya. Apalagi, jika ia adalah pimpinan dari kelompok yang jumlahnya mayoritas. Tidak hanya harta benda yang menjadi korban, melainkan juga nyawa.
Peran pemimpin, di masyarakat Indonesia yang menganut model patriaki sungguh penting. Terlebih, jika pendidikan dan kesejahteraan juga belum merata. Seorang pemimpin akhirnya tidak sekadar kiblat, namun juga harapan bagi hidup mereka. Mereka rela meninggalkan keluarga mengikuti pemimpinnya, untuk mendapatkan “surga” yang dijanjikan. Kekaguman dan rasa hormat yang berlebihan, tak jarang berubah menjadi kultus individu.
Kembali lagi ke adagium kebodohan dan kemiskinan adalah musuh agama. Kebodohan disini, tidak semata-mata dipahami sebagai tidak terpelajar. Melainkan, juga bisa dipahami sebagai kaum terpelajar yang tidak lagi membuka diri untuk pengetahuan atau hal-hal baru disekitarnya. Logikanya tertutup oleh egoisme dan fanatisme berlebihan. Tipe pemimpin seperti ini, tentu tidak segan-segan mengorbankan nyawa demi meraih keinginannya.
Begitu pula dengan kemiskinan. Seringkali pemimpin malah berlagak seperti makelar massa. Tahu pengikutnya banyak, dia malah mengambil untung dari sini, dengan cara dan dalil apa pun yang jadi dasar. Entah memungut sumbangan sebagai “penebusan dosa atau jalan masuk surga”, atau berselingkuh dengan penguasa, untuk melanggengkan kekuasaan si penguasa itu.
Yang terakhir ini, bisa terlihat dari mobilisasi massa untuk mendukung tokoh tertentu. Atau malah keengganan atau keraguan si penguasa negeri, untuk menindak para pemimpin masyarakat atau agama yang membuat onar atau mengacau.
Selain kemiskinan ekonomi, tentu kemiskinan hati jadi rentetan berikutnya. Tidak ada lagi nurani tersisa. Siapa pun yang jadi penghalang adalah musuhnya, atau malah dicap musuh dari agamanya. Layaknya pribahasa, semut diujung lautan kelihatan, namun gajah di pelupuk mata tidak tampak. Sibuk mengejar “surga”, namun mengorbankan hubungan antar manusia yang harmonis. Maunya didengarkan, tanpa berusaha mendengarkan. Selalu ingin jadi pusat perhatian dan menganggap keyakinannya yang paling benar.
Pemimpin harus berpikiran terbuka
Sebelum umat kebanyakan, yang terpenting untuk dicerahkan adalah para pemimpin atau tokoh agama. Seperti halnya Ahmad Dahlan muda, pergi naik haji dan berguru ke Mekkah. Niat Dahlan itu sempat ditertawakan pakde atau kakak ayahnya. “Buat apa kamu ke Mekkah? Disini sudah banyak Kyai yang berguru ke Mekkah tetapi tidak berbuat apa-apa. Semuanya bodoh dan tunduk kepada Sultan,” ujar sang pakde.
Namun, sindiran inilah yang jadi pegangan Dahlan untuk tidak kembali jadi bodoh dan miskin. Pengetahuan dan ilmu tidak ada artinya, jika tidak menggunakan logika dan hati. Keberanian untuk mengatakan tidak, jangan lantas dianggap pembangkangan.
Film ini menunjukkan berkali-kali, upaya dialog dan bertukar argumentasi antara Dahlan dengan para penentangnya. Meski tidak menghasilkan kesepakatan, namun juga tidak ada usaha saling memaksa. Namun, tatanan ini rusak setelah emosi dan ego kekuasaan tersentil. Menurunnya jumlah umat masjid besar, jadi pemicu kebencian yang sangat terhadap Dahlan. Jadi sesungguhnya, di dalam hubungan antara pemuka agama juga terdapat kompetisi politik yang kental.
Indonesia, sepertinya butuh figur pemimpin seperti Ahmad Dahlan dalam cerita Sang Pencerah. Meski memegang teguh prinsip, Ahmad Dahlan memiliki pemikiran yang progresif dan terbuka. Menyukai perbedaan dan membangun dialog antar perbedaan itu. Dahlan juga peka terhadap masalah yang dihadapi masyarakatnya, dan mau mendengarkan.
Refleksi penutup dari film ini adalah berani mengakui kesalahan dan meminta maaf. Karena seorang pemimpin juga tidak luput dari kesalahan. Seperti yang dilakukan Kyai penghulu, saat memanggil Dahlan menemuinya di masjid besar. Mari kita mengerjakan apa yang menjadi bagian kita masing-masing, dengan penuh tanggung jawab.
disadur dari Alexander Wibisono